Pemain Siter, Bagaimana Kabarmu ?

Foto : Salah seorang pemain siter sedang memainkan alat musik siternya. (sumber : google)

Hidup bertopang seni kadang tak bisa diandalkan. Jatuh bangun justru kerap kali dirasakan. Kadang sebuah kelompok kesenian seperti siter, harus kandas di tengah jalan, karena tak mendapatkan perhatian.

Oleh : Heri Setiawan

Seorang wanita duduk di trotoar jalan dengan kucuran keringat mengalir deras di wajahnya. Tubuhnya yang kurus seakan menambah pahit getirnya kehidupan yang dilakoninya. Menjadi seorang pengamen siter, bisa jadi menjadi pilihan hidupnya, atau bahkan tidak sama sekali.

Suminah, nama wanita itu kini telah memasuki usia rembang senja. Dia seolah-olah merasakan pahit getirnya menjadi pengamen siter. Ia berupaya menghidupkan siteran dengan cara ngamen dari satu tempat ke tempat lainnya.

Tubuhnya yang menghitam karena tertindas sengatan mentari, tiap hari dibawa berkeliling untuk menopang kehidupan ekonominya.

“Hanya ini lah satu-satunya cara menunjukkan kepada masyarakat bahwa siteran masih ada. Tetapi, begini lah nasib kesenian tradisional. Hidup segan mati pun enggan,” lontar Suminah, sembari menghapus keringat di jidatnya dengan lengan bajunya ketika dijumpai sedang beristirahat di sebuah warung kecil tak jauh dari Pantai Boom Tuban, kala itu.

Suminah menyatakan, siteran dan tayub kerap disamakan dalam persepsi asmara dan nafsu berahi, sebab figur sentralnya adalah sosok wanita sebagai pesinden. Namun, ungkap Suminah, sebenarnya berbeda. Siteran lebih menonjolkan estetika dalam berkesenian yang tak pernah dibalut oleh gemerlap kemewahan. “Ya mungkin persepsi orang lain-lain cara memaknainya, tetapi yang jelas sangatlah berbeda,’’ terang wanita yang tegar menjalani hidup ini.

Seberkas sinar redup matahari yang mengintip di antara rerimbunan cemara dan karang di Pantai Boom Tuban, seperti mengelus pipi pesinden yang tengah menembang dalam siteran. Perempuan itu sudah tidak muda lagi. Umurnya memasuki 55 tahun. Keriput tulang pipinya memancarkan keletihan.

Tak sedikit pun terbersit gairah nafsu di wajahnya. Justru suasana guyub yang menonjol. Sesama kru saling menjaga satu dan lainnya. Terutama terhadap pesindennya. Keutuhan dalam nuansa persaudaraan itulah salah satu ciri khas siteran yang sulit tergantikan.”Keguyuban ini lah yang menjadi salah satu kekuatan yang mampu mempertahankan sebuah kesenian siteran,’’ celotehnya seakan hendak berfilsafat.

Suminah, wanita itu, terus menembang hingga senja kala dan dilanjutkan pada malam harinya. Orang-orang yang mengelilinginya menikmati tembang sang sinden dengan mata kuyu. Wajahnya memerah, seperti menunjukkan beban kehidupan.

Tetapi, kejadian itu sudah lama berselang. Beberapa tahun yang lampau. Namun, bayang-bayang masa itu seperti masih baru terjadi beberapa jam lalu.

“Dulu, kelompok siteran masih sering main di sekitar Pantai Boom, Tetapi, setahu saya kini sudah tidak kelihatan lagi. Tak tahu entah ke mana,” kata lelaki setengah baya yang mengaku pernah gandrung siteran.

Jas, demikian dia biasa dipanggil teman-temannya, mengaku suka merindukan siteran. Tidak pada pesindennya. Tetapi lebih pada keindahan bait-bait tembangnya dan kesyahduan suara khas siter yang dipetik lelaki buta.

Pemain Siter, bagaimana kabarmu? Banyak yang sudah tidak lagi mengetahuinya. Di Dusun Bongkol, Desa Sumurgung, Kecamatan Tuban, konon dulu banyak bermukim kelompok siteran. Namun, keberadaannya kini memudar.

Matinya siteran karena kedudukan pesinden tidak bisa digantikan. Seorang sinden tayub sekali pun tak mampu menembang di siteran. Yang bisa menggantikan hanya para sinden wayang. Itu pun jumlahnya sangat terbatas. Sebuah realitas dan ironi yang sangat menyakitkan.Terlebih bagi pecinta dan pegiat kesenian tradisional.*) Penulis adalah pegiat media di Tuban

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *