Hidup itu Konsensus

Oleh: Akhmad Zaini

Hidup itu konsensus. Dalam kehidupan ini, kita tidak boleh menang-menangan. Kita harus mau berbagi kepentingan. Karena pada hakikatnya, di dalam kehidupan sosial ini ada sejumlah kepentingan yang bertemu. Agar terwujud keharmonisan hidup bersama, maka diperlukan konsensus. Masing-masing pihak menurunkan egonya, demi menampung ego pihak di luar dirinya.

Saya tidak tahu, mengapa konsep itu mak bedunduk (secara tiba-tiba) muncul di benak saya dan ingin saya tulis. Mungkin bawah alam sadar saya terpengaruh dengan kondisi sosial politik di Jakarta beberapa hari belakangan ini. Di mana, ada sekelompok orang yang ingin memaksakan kehendaknya.

Dalam kehidupan sosial apapun, konsensus merupakan keniscayaan. Jika orang atau sekelompok orang mau hidup harmonis di tengah-tengah kelompok lainnya, maka sikap untuk berbagi ruang harus dimiliki. Jika maunya menang sendiri, memaksakan kehendaknya sendiri, tanpa mendengarkan pendapat orang lain, maka kehadiran orang atau kelompok terserbut pasti akan menimbulkan problem sosial.

Dalam sejarah Islam, kita mengenal perjanjian Hudaibiyah. Yakni, penjanjian kaum muslimin yang dipimpin Rasulullah SAW dengan orang kafir Quraisy. Kaum muslimin yang sudah menjelma menjadi komunitas besar, hendak melaksanakan umrah di Makkah. Namun, penguasa Makkah yang terdiri dari kaum kafir Quraisy, menghalang-halangi niat tersebut. Pertumpahan darah nyaris terjadi. Tetapi, Nabi memilih jalur diplomasi. Perjanjian pun dibuat.

Perjanjian yang kemudian disebut perjanjian Hudaibiyah, karena tempatnya di Hudaibiyah (22 Km arah barat Makkah) merupakan konsensus. Jalan tengah. Satu sisi, keinginan umat Islam melaksanakan umrah harus rela ditunda tahun depan. Di sisi lain, kafir Quraisy yang tidak menginginkan umat Islam masuk ke Makkah, harus rela di tahun depan umat Islam bisa masuk ke Makkah. Fifty-fifty. Mungkin pembagiannya tidak sama persis. Tetapi, kurang lebih mendekati imbang.

Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memproklamirkan diri sebagai ormas yang berprinsip washatiyah (jalan tengah). Ini artinya, kedua ormas itu menyadari bahwa kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, harus rela berbagi dengan kelompok lain. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah jalan tengah ketika para pendiri bangsa menyadari bahwa di dalam pelukan ibu pertiwi ada sejumlah etnis, suku, ras, keyakinan yang berbeda-beda.

Apa yang saya ungkapkan itu, mungkin terdengar klasik. Namun, dalam konteks sekarang perlu digaungkan lagi. Ada gejala, sejumlah anak bangsa yang lupa dengan prinsip mulia ini. Mereka merasa benar sendiri dan memaksakan kehendaknya untuk diterima oleh kelompok lain.

Sejak negara ini didirikan, para pendiri bangsa memang sudah menyatakan bahwa bangsa ini menganut sistem terbuka. Semua elemen bangsa diberi keleluasaan untuk berekspresi, menyampaikan pendapat dan memperjuangkan kepentingannya. Namun, tidak boleh memaksakan kehendak. Ada batasan-batasan yang harus ditaati. Harus memberikan ruang kepada pihak lain. Karena itu, sistem demokrasi pun diadopsi untuk dijadikan model dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Umat Islam yang menjadi penduduk masyoritas bangsa ini, tidak keberatan dengan sistem demokrasi tersebut. Sebab, pada dasarnya meski istilah yang digunakan tidak sama persis, namun ajaran Nabi Muhammad SAW tentang kehidupan bermasyarakat pada dasarnya sudah sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Nabi tidak pernah mengajarkan umat Islam untuk memaksakan kehendak. Dakwah pun tidak boleh memaksa. Menerapkan hukum agama pun, juga dengan proses yang gradual atau bertahap.

Di kalangan pesantren, banyak sekali kaidah yang sejalan dengan ini. Semisal, prinsip mempertimbangkan maslahah dan madharat serta mempertimbangkan hal-hal yang lebih kecil kerugiannya (ad’afud dhorurain). Dua prinsip ini mengajarkan agar kita tidak terjebak pada titik ekstrim. Sebaliknya, pada titik kelenturan (fleksibel). Bisa menerima hal-hal yang tidak ideal. Namun, untuk sementara hal itulah yang diyakini akan mendatangkan kebaikan atau keharmonisan sosial. Itulah konsensus.

Penerimaan kita kepada pemimpin, harusnya juga selalu didasari prinsip itu. Di dalam ajaran ahlussunah wal jamaah, keberadaan pemimpin adalah mutlak adanya. Bahkan, sampai muncul jargon, pemimpin zalim lebih baik daripada tidak ada kepemimpinan. Jargon ini, mungkin agak ekstrim. Namun, pesan penting yang ada di balik jargon itu adalah dalam kehidupan bersama, harus ada figur yang berposisi sebagai pemimpin. Sebab, kehidupan kolektif yang tanpa pemimpin, dikhawatirkan akan lebih buruk kondisinya. Lebih kacau. Bisa chaos.

Mencari pemimpin ideal yang memenuhi hasrat semua komponen bangsa dipastikan sebagai kemustahilan. Pemimpin masyarakat tanpa cacat hanyalah ada pada diri Rasulullah SAW. Karena beliau maksum. Dijaga Allah SWT. Selebihnya ada dalam dunia dongeng! Sehingga, pemimpin di luar Rasulullah, dipastikan akan ditemukan titik kelemahannya. Sekecil apapun. Karena itu, harus ada kelapangan untuk bisa menerima kekurangan itu. Bila ada masalah serius terkait dengan seorang pemimpin, maka diperlukan mekanisme yang elegan untuk mengingatkannya.

Mengganti seorang pemimpin, juga harus ada mekanisme yang harus menjadi pegangan bersama. Tidak bisa, ketika muncul hasrat tidak suka, maka serta merta kita ingin menggantinya. Masa bakti atau periodisasi juga harus dihormati. Artinya, kalau tidak ada kesalahan yang sangat fatal dan sangat membahayakan kehidupan bersama (gawat darurat), maka seorang pemimpin selayaknya diberi kesempatan untuk memimpin sampai periodenya habis.

Karena itu, prinsip konsensus seperti yang saya uraikan di awal tulisan ini harus menjadi pegangan bersama. Ini semua butuh kedewasaan. Sebab pada dasarnya, sistem terbuka, sistem demokrasi hanya akan mendatangkan banyak kebaikan di tangan orang-orang yang sudah matang dan dewasa kepribadiannya. Di tangan yang belum dewasa dan matang, sistem terbuka atau demokrasi acap kali menimbulkan kekacauan.

Sejarah peradaban Islam, telah ternodai oleh sikap sekelompok orang ekstrim, yang ingin memaksakan kehendak. Tidak mau kompromi dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan alam pikirannya. Ironisnya, mereka membungkus egonya itu dengan casing agama. Ayat-ayat Alquran dieksploitasi untuk membenarkan tindakannya.

Kelompok ini oleh sejarah Islam disebutnya sebagai kelompok khawarij. Ciri dari kelompok ini adalah mengkafirkan (suka menyalahkan) pemerintah, kaum muslimin dan orang-orang yang ada di pemerintahan, memberontak kepada pemerintah yang sah, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Kelompok ini, bukannya tidak faham agama dan tidak bisa membaca Alquran. Mereka bisa. Namun, mereka suka menggunakan pemahaman atau penafsiran yang hanya menuruti nafsunya.Fenomena kehidupan sosial akhir-akhir ini, adakah kemiripan dengan itu? Mari kita simpulkan dan kita definisikan di pikiran kita masing-masing.

Terakhir yang perlu saya tandaskan, kehidupan sosial, pada dasarnya selalu mengandung dilema. Sesuatu yang secara jelas benar (baik) adanya saja, masih ada peluang mengandung muatan negatif. Ini karena kehidupan manusia ini pada dasarnya sangat complicated. Satu sisi, ada dimensi-dimensi kebaikan yang terkandung di dalamnya. Namun, pada waktu bersamaan, ada dimensi-dimenasi negatif yang menyertainya.

Sistem demokrasi yang begitu dipercayai sebagai sistem terbaik pun, tidak bisa nihil seratus persen dari kekurangan. Ketika keputusan suara terbanyak diambil, misalnya, maka ada suara kecil yang tidak terakomodasi kepentingannya. Sistem musyawarah mufakat, yang dianggap lebih soft dan lebih “beradab” juga tidak akan mampu benar-benar menampung semua kepentingan dengan proporsi yang sama besarnya. Pasti ada yang harus mengalah. Pasti harus ada yang harus rela menahan diri dan lain sebagainya.

Jadi kesimpulannya, janganlah di dalam kehidupan sosial ini, kita menuntut kesempurnaan kepada pihak lain. Lihatlah diri sendiri, bisakah diri kita tampil sempurna tanpa cacat!

*) Akhmad Zaini, mantan jurnalis, kini aktif di dunia pendidikan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *