Kritik Sosial Disampaikan Perupa Lewat Pameran Tunggal

Foto : Perupa Tuban saat sampaikan kritiknya dengan menggelar pameran tunggal. (ist)

wartaapa.com-Pelaku seni rupa (Perupa) Tuban menyampaikan kritiknya dengan menggelar pameran tunggal di Mangrove Center, di Desa, Kecamatan Jenu, pada Sabtu, 11 Desember hingga Selasa, 14 Desember 2021.

Ada tiga jenis karya yang dipamerkan dalam event bertajuk “Bermain di Rumah Saja” tersebut, yaitu karya yang mengeksplorasi batik kawung, pengenalan eco print serta edukasi untuk hidup selaras dengan alam, serta kritik penangkapan burung secara besar-besaran.

Total ada sekitar 42 karya yang terdiri dari 5 batik kawung dalam bentuk kain, 5 kostum kawung origami, 15 kain Eco Print, 7 karya naratif proses pembuatan batik, 7 instalasi burung tersakiti, serta 5 kain batik tema penjarahan burung.

Perupa Tuban asal Surabaya, Uzzaer Ruwaidah, saat dikonfirmasi mengatakan, “Bermain di Rumah Saja“ harusnya bisa menjadi sesuatu yang tidak terlalu membosankan, tetapi pada faktanya banyak juga fenomena yang menyayat hati dari aktivitas tersebut.

“Proses menyenangkan dengan bermain dan mengekplorasi batik kawung yang awalnya masih ditemani banyak burung, akhirnya semakin sepi dan berkurang, begitu pula fenomena menjamurnya batik eco print yang mulai menggunakan bayak teknik yang kurang selaras dengan alam,” ujar Uzzaer.

Melihat hal tersebut, seniman perempuan ini tidak bisa berbuat banyak untuk memperbaiki keadaan, kecuali seperti kebiasaan yang sering dilakukan oleh para seniman, yaitu menyampaikan kritik mereka melalui karya, seperti pameran tunggal bertajuk “Bermain Di Rumah Saja” ini.

Perupa Tuban yang berdarah Surabaya ini selain ingin protes tentang penjarahan burung, khususnya perkutut dengan jaring, juga ingin mengedukasi tentang eco print serta hidup yang selaras dengan alam.

“Belakangan ini eco print atau pembuatan batik dengan motif daun-daunan dicetak pada kain dengan cara yang konon alami, sangat marak dan mulai dilirik oleh banyak pelaku bisnis di bidang tekstil kerajinan,’’ jelasnya.

Namun, lanjut Uzzaer, perkembangan tersebut bukan hanya berdampak pada pesatnya minat masyarakat pada batik, tetapi juga munculnya teknik-teknik baru yang justru tidak ramah lagi untuk lingkungan dan berpotensi merusak atau mengeksploitasi alam.

“Yang paling penting dari proses eco print bukan hanya sebatas mencari bahan dari alam dan menggunakannya, tapi juga upaya untuk melestarikan dengan cara menanam sendiri meskipun dalam skala kecil”, terangnya.

Selain itu, menurutnya, juga mulai marak pelaku eco print yang hanya bergerak untuk mengejar pasar sehingga hanya menitikberatkan pada warna, yang cenderung menggunakan treatment atau merendam daun dengan pewarna buatan agar menghasilkan banyak warna. “Hal ini sudah mulai melenceng dari konsep awal eco print yang seharusnya menjadi alternatif pembuatan batik ramah lingkungan, dan jadi harus banyak dikorbankan karena kepentingan pasar semata”, pungkasnya. (set)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *