Oleh: Akhmad Zaini
wartaapa.com-Seberapa besar spirit atau ruh Islam berada di balik kemerdekaan Indonesia yang kita peringati hari ini? Menurut saya, sangat besar sekali. Saya tidak bermaksud meremehkan spirit yang muncul dari luar Islam. Namun, dalam catatan ini, saya hanya ingin menekankan bahwa Islam sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini telah menjadi spirit atau kekuatan sangat dahsyat di balik diraihkan kemerdekaan Indonesai pada 75 tahun lalu.
Para pahlawan yang namanya terukir tinta mas dalam sejarah Indonesia, mayoritas tokoh-tokoh Islam. Memang, sejarah versi lama yang banyak dipengaruhi perspektif sejarawan Belanda sering mereduksi para pahlawan itu hanya diidentifikasikan sangat simple. Mereka beragama Islam atau sebagai muslim. Titik. Padahal, tidak sesederhana itu. Mereka itu bukan muslim biasa. Tapi tokoh-tokoh Islam yang cukup mendalam penguasaan agamanya. Bahkan, sebagian dari mereka adalah ulama.
Pangeran Diponegoro, misalnya. Dulu, ketika saya masih menempuh pendidikan di sekolah dasar, Pangeran Diponegoro hanya diceritakan secara “datar” oleh para guru kita. Guru pada waktu itu, termasuk guru madrasah di tempat saya belajar, sepertinya tidak mempunyai referensi cukup perihal keislamanan Pangeran Diponegoro. Maka pelajaran yang diajarkan kepada siswa hanya sebatas, Pangeran Diponegoro adalah Pahlawan Nasional yang memimpin perlawanan mengusir Belanda.
Perang Diponegoro berkobar selama 5 tahun, dari 1825-1830 di Jawa, khususnya Tengah. Meski hanya berlangsung selama 5 tahun, Perang Diponegoro adalah perang terbesar yang dialami Belanda selama menjajah di Indonesia.
Perang Diponegoro inilah yang paling menguras kas atau keuangan negara Belanda. Digambarkan, gara-gara menghadapi perlawanan dari pasukan Pangeran Diponegoro itu –juga perang kemerdekaan di Belgia yang saat itu juga dijajah Belanda-, kas atau keuangan negera Belanda kosong. Kas itu baru terisi lagi setelah Pangeran Diponegoro bisa dikalahkan dengan tipu daya Belanda.
Tentu kita dengan mudah bisa membayangkan, jika kas negara Belanda sampai kosong, betapa dahsyatnya perlawanan itu ? Lalu, spirit apa yang bisa menjadikan perlawanan itu begitu dahsyat? Pada waktu itu, hanya dijelaskan sebagai perang melawan Belanda. Artinya hanya perang untuk membela tanah air. Padahal, menurut saya, itu tidak cukup.
Berdasarkan referensi-referensi yang ada, Perang Diponegoro adalah perang yang berlatarbelakang keyakinan (agama). Jadi, spirit yang menjadi kekuatan besarnya adalah spirit Islam. Dalam teori konflik, agama atau keyakinan adalah pemicu konflik yang sangat rawan atau sensitif. Bila konflik itu dipicu oleh persoalan agama atau keyakinan, maka konflik itu bisa berkepanjangan, sulit diselesaikan dan berakibat sangat fatal. Nyawa pun seakan menjadi tidak ada harganya.
Dalam Islam, perang karena motif membela agama dikenal dengan istilah jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah). Dalam konteks Perang Diponegoro, perang itu adalah perang melawan kaum penjajah Belanda yang kafir. Saya yakin, tanpa spririt agama perang Diponegoro tidak sedahsyat itu.
Kalau kita membaca sejarah Pangeran Diponegoro dengan “datar”, tanpa disertai pembacaan kondisi sosialogis sang pangeran, maka kita tidak akan sampai ke kesimpulan itu. Namun, kalau kita mengetahui bahwa Pangeran Diponegoro adalah keluarga keraton yang meninggalkan kemewahan keraton untuk hidup layaknya rakyat biasa dan kemudian menekuni Islam, maka kita dengan mudah mengambil kesimpulan itu. Jika tidak, maka akan kehilangan konteks. Membaca sejarah tanpa menyertakan konteks sosial yang menyertainya, akan hampa dan tidak bisa menemukan makna sesungguhnya di balik sejarah itu.
Diceritakan bahwa Pangeran Diponegoro adalah putra Hamengkubuwono III, Sultan Ngayojokarto Hadiningrat. Nama asli Pangeran Diponegoro adalah Raden Mas Ontowirno. Setelah beliau “mengasingkan diri” dengan meninggalkan kemewahan hidup di dalam keraton untuk mendalami Islam, maka namanya diganti Abdul Hamid. Pertama mendalami Islam, Abdul Hamid nyantri kepada KH Hasan Besari. Ulama terkenal dan melahirkan banyak ulama di Nusantara. Salah satu keturunan KH Hasan Besari yang saat ini aktif sebagai pendakwah adalah Gus Miftah. Kiai Besari adalah kakek buyut dari dai yang mengasuh Pesantren Ora Aji Jogjakarta ini.
Selain itu, Pangeran Diponegoro nyantri ke beberapa ulama ternama untuk mendalami ilmu agama. Diceritakan, bahwa Pangeran Diponegoro, layaknya santri di pesantren Nusantara pada umumnya juga belajar membaca kitab kuning, seperti Tafsir Jalalain dan kitab fiqih Fathul Qorib. Bahkan, beliau konon juga hafal Alquran (hafidz) dan belajar ilmu hikmah. Dari sinilah muncul keyakinan kalau Pangeran Diponegoro juga pengamal ilmu tarekat (thariqah).
Dalam pertempuran melawan Belanda, Pangerah Diponegoro dibantu para ulama. Di antaranya, Kiai Mojo, Haji Mustopo, Haji Badaruddin dan Kiai Sentot Prawirodirdjo. Dalam membakar semangat pasukannya, Kiai Mojo menfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad fi sabilillah. Semua umat islam wajib ikut andil dalam perperangan itu. Pasukan Pangeran Diponegoro ini diyakini terdiri dari para santri yang cukup menguasai ilmu agama. Terbukti, setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan pasukan ini kocar-kacir mengamankan diri, di kemudian hari sebagian dari mereka menjadi tokoh agama atau pendakwah di wilayah persembunyian itu. Seingat saya, Dahlan Iskan, mantan bos saya di Jawa Pos pernah cerita bahwa nenek moyang dia adalah pasukan Pangeran Diponegoro yang mengamankan diri dan menetap di Magetan. Keluarga ini di Magetan sampai sekarang masih mengelola sebuah pondok pesantren.
Sebagai santri yang mendalami ajaran Islam secara mendalam, tentu Pangeran Diponegoro dan orang-orang terdekatnya memahami bahwa dalam Islam, ada 5 hal yang wajib dijaga. Yakni, agama (hifdzud diin), nyawa (hifdzun nafs), keturunan atau penerus (hifdzun nasl), harta (hifdzun maal) dan pikiran atau akal (hifdzul aql). Menjaga di sini, dalam skala yang sangat serius tentu bisa ditempuh dengan jalan perang. Dan, perang yang dilakukan itu masuk dalam kategori jihad fi sabilillah (perang di jalan Allah).
Selain Perang Diponegoro, perang-perang di berbagai penjuru nusantara, seperti Perang Kaum Paderi pada 1803-1838 yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol di tanah Minang juga merupakan perang yang di belakangnya membawa spirit agama. Memang, Perang Paderi ini bermula dari pertentangan antara kaum agama dengan kaum adat.Tapi, dalam perkembangannya, mereka (kaum agama dan adat) akhirnya bersatu dan secara bersama-sama mengarahkan senjatanya ke arah panjajah Belanda.
Mereka mengangkat senjata karena Belanda yang menjajah di bumi nusantara, tidak hanya membawa misi untuk mengeruk kekayaan. Tapi, juga membawa misi mensyiarkan agama mereka (Protestan). Dalam melakukan penjajahan bangsa barat membawa tiga misi yang dikenal dengan istilah 3 G. Yakni, untuk mendapatkan kekayaan (gold), kejayaan (glory) dan juga untuk menyebarkan keyakinan agama mereka (gospel).
Seperti diketahui, penjajahan bangsa barat atas beberapa negara Islam (termasuk kerajaan-kerajaan Islam di nusantara) terkait erat dengan tragedi perang salib. Setelah peradaban Islam runtuh, salah satunya dengan lenyapnya kekuasaan Islam di Andalusia (spanyol) pada abad 16, maka bangsa barat mengaveling dunia untuk dikuasai atau dijajah. Praktik penjajahan itu, membawa 3 misi di atas. Dan, penjajahan itu kian kokoh setelah di Inggris muncul revolusi Industri pada 1840. Dari revolusi industri ini, mereka memiliki peralatan “canggih” untuk memperlancar proses kolonialisasinya. (bersambung)
*). Akhmad Zaini, mantan Jurnalis Jawa Pos, kini khadam di IAINU Tuban.