Bungkus Kado dan Pilkada

Oleh: Akhmad Zaini

wartaapa.com-Bungkus Kado? Ah, semua orang pasti tahu bungkus kado. Anda yang sudah berkeluarga tentu pas resepsi pernikahan dulu, menerima banyak kado. Juga pas ulang tahun. Dan beberapa momentum penting lainnya.

Bacaan Lainnya

Saling memberi kado atau hadiah, adalah tradisi yang sudah ada ratusan tahu lalu. Itu tradisi baik yang tidak ada masalah bila terus diuri-uri (dilestarikan). Untuk menjaga keintiman silaturrahmi. Yang penting tidak memberatkan diri.

Dari sisi nilai kado, tentu sangat variatif. Tapi, rata-rata ya ala kadarnya. Bahkan ada yang nakalan. Kado itu berupa “piala bergilir”. Dulu barang itu adalah pemberian dari orang lain. Karena dianggap tidak dibutuhkan lagi, maka begitu perlu memberi kado kepada seseorang, maka kado “piala bergilir” itu dibungkus dan diberikan.

Karena kado pada umumnya barang tidak terlalu berharga, maka kado biasanya dibungkus. Itulah bungkus kado. Tujuannya, pertama untuk estetika. Biar pantes. Kedua untuk menyembunyikan nilai barang sesungguhnya. Dengan dibungkus kado, maka isi kado yang beraneka ragam itu kelihatan sama. Bahkan, kado yang nilainya rendah bisa-bisa kelihatan lebih oke dan melebihi kado yang nilainya di atasnya. Dengan catatan, bila yang membungkus punya keterampilan bagus. Juga bila yang memilih bungkus kado memiliki selera tinggi.

Awalnya sama. Hanya beda ukuran, corak dan teknik membungkusnya. Namun, setelah itu, “rahasia” akan terbongkar. Setelah acara usai, kado akan dibuka oleh penerima kado. Yang emas akan kelihatan emas. Yang perak akan kelihatan perak. Yang “piala bergilir”? Belum tentu kelihatan. Sebab, bisa jadi barangnya memang berguna, hanya si pemberi sudah memilikinya. Sehingga, daripada tidak terpakai, akhirnya diberikan.

Ah..bungkus kado ternyata memiliki fungsi cukup besar. Terutama bagi kado-kado yang harga atau nilainya pas-pasan. Kalau Anda orang kaya raya dan ingin memberikan kado dalam wujud rumah atau mobil, tentu tidak perlu bungkus kado. Paling hanya diberi tali pita. Supaya kelihatan kalau itu kado. Bukan barang yang dijual.

Filosofis bungkus kado yang cukup penting ini, ternyata tercium oleh hidung politisi. Terutama yang saat ini akan mencalonkan diri. Entah mencalonkan diri sebagai bupati, wakil bupati, wali kota atau wakil wali kota. Maka, mereka pun mengadopsi dan mempraktikkannya. Mereka ramai-ramai “memborong” bungkus kado. Tujuannya apa? Ya agar dirinya lebih kelihatan oke, lebih menyakinkan dan akhirnya mendapatkan banyak dukungan.

Apa wujud bungkus kado politik itu? Ya macam-macam. Dalam konteks politik Indonesia, bungkus agama masih sangat diminati. Karena itu, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas yang terbesar pengikutnya sangat diminati. Berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, NU diikuti oleh sekitar 49.5 persen umat Islam Indonesia. Sedang Muhammadiyah diikuti sekitar 4.3 persen jumlah ummat Islam Indonesia. Sedang, selebihnya ikut ormas di luar NU-Muhammadiyah. NU bagai gadis cantik yang diperebutkan para jomblo laki-laki.

Karena itu, ketika pilpres, pilgub, pilbup banyak calon yang “mendadak NU”. Mendadak rajin pakai peci dan sarung. Mendadak rajin ikut istigasah. Mendadak sering sowan kiai. Mendadak peduli ke pesantren dan lain sebagainya. Intinya, si calon itu ingin identik dengan santri. Tidak hanya itu, ada juga yang berlomba memburu pengakuan formal. Ingin dimasukkan sebagai pengurus. Atau minimal memiliki Kartu Tanda Anggota NU (KARTANU). Padahal, sebelumnya blas, tidak ada tanda-tanda NU sedikit pun di dalam diri orang itu.

Ya..saat Pilkada atau pun Pil-pilan seperti sekarang ini, NU dan segala yang terkait dengan organisasi ini potensial dicari untuk dijadikan bungkus kado. Padahal, bungkus kado, ya tetap bungkus kado. Pada saatnya nanti, bungkus kado akan dirobek dan dibuang. Dicampakkan!

Kenyataan bahwa NU dan perangkatnya memang menjadi bungkus kado yang menarik, memang tidak bisa dipungkiri. Itu takdir yang harus disyukuri. Tapi, kalau bungkus kado yang nasibnya nanti dirobek dan dicampakkan, ini yang harus dihindari. Karena itu, panjenengan yang saat ini menjadi tokoh NU, menjadi kiai NU, menjadi pengurus NU, menjadi warga NU harus lebih menjaga diri. Jangan sampai organisasi yang didirikan dengan tujuan mulia itu, nasibnya hanya dihargai selevel bungkus kado.

Pengalaman pahit-manis terkait dengan politik, NU sudah banyak punya memori. Dibohongi, dikadali politisi, sudah tidak terhitung lagi. Oleh karena itu, mestinya sudah ada patokan yang bisa dijadikan pegangan warga NU. Yaitu khittah NU yang dirumuskan di Situbondo pada 1984 lalu itu. NU sebagai organisasi harusnya tidak ikut politik praktis. Kalau bisa dihindari. Politik praktis cukup dimainkan warga nahdliyin secara pribadi, tanpa membawa-bawa organisasi. Seperti yang sering diserukan (alm) KH Sahal Mahfudz semasa beliau menjabat sebagai Rais Aam PBNU dulu. Beliau ingin, secara oganisasi NU cukup main di level tinggi. Yaitu, politik kebangsaan, kerakyatan dan etika politik.

Perlu disadari, para politisi yang masih bingung dengan bungkus kado itu, biasanya ya calon kelas rendah. Tidak memiliki nilai jual tinggi. Ya…kira-kira selevel setrika, kipas angin, bungkus bantal beserta seprai, panci dan lain sebagainya. Bila selevel rumah atau mobil mewah, tentu tidak perlu ditutup bungkus kado. Cukup diberi pita untuk menjadi penanda bahwa itu adalah barang hadiah.

Calon yang reputasinya jelas. Dedikasinya kepada masyarakat sudah terbukti. Kesantrian dan kesalehannya sudah diketahui banyak orang. Kemampuan manajerial atau kemimpinanya juga sudah teruji, saya rasa calon itu tidak bingung dengan yang namanya bungkus kado. Bila toh masih perlu, ya sekadar tali pita saja. Untuk menunjukkan bahwa saat ini, dia sedang mencalonkan diri.

Terkait dengan filosifis “Bungkus Kado” ini, masyarakat mestinya menyadari. Mana calon yang sibuk membungkus diri dan mana calon yang tampil apa adanya. Jangan mudah terkecoh. Lihat masa lalunya. Cari data dari lingkungan terdekatnya. Jangan membeli kucing dalam karung.

Untuk mendapatkan pimpinan yang baik, memang tidak mudah. Jangan anggap pesta demokrasi hanya momentum yang hanya akan berlangsung satu hari, seperti halnya pesta perkawinan. Buntut dari pesta demokrasi itu panjang. Pemimpin yang dihasilkan hari itu, akan menentukan nasib jutaan orang 5 tahun mendatang.

Politik uang yang saat ini marak, harusnya jangan dianggap sebagai sebuah kelaziman atau kewajaran. Jangan sekali-kali punya pemikiran seperti itu. Kita harus tetap punya prinsip bahwa itu adalah penyimpangan. Dengan prinsip itu, maka kita akan tetap memiliki energi untuk tidak melakukannya. Tapi, bila kita menganggap itu sebagai kelaziman, maka secara otomatis kita akan melestarikan. Ini sangat bahaya! Dunia akhirat kita akan mempertanggungjawabkannya.

Memang, ibarat perang, kita harus menyiapkan senjata yang seimbang dengan senjata lawan. Bisa jadi, politik uang memang saat ini masih sulit dihindarkan. Tapi, itu jangan sampai menjadi “keimanan”. Calon yang bereputasi baik. Calon yang berdikasi baik. Insya Allah masih ada harganya di mata masyarakat. Semiskin-miskinnya masyarakat kita, serendah-rendahnya pengetahuan mereka, selemah-lemahnya iman mereka, saya yakin, mereka masih punya cadangan hati nurani untuk bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk.

Jadi, saya berharap kepada para calon yang masih punya niat baik atas pencalonannya, jangan perburuk situasi. Jika Anda terpaksa menyiapkan “amunisi” tetaplah niati bahwa itu adalah langkah darurat yang memang masih sulit dihindari. Jangan patenkan dalam hati, hanya dengan cara itulah Anda akan bisa memikat hati. Yakinlah, rekam jejak Anda yang baik, amal sosial Anda yang sudah menjadi kebiasaan jauh-jauh hari, akan dicatat masyarakat.

Tolong, paragraf akhir ini dicamkan dalam hati. Oleh semua saja. Yang mencalon, si calon, yang akan memilih. Jika prinsip bahwa pemilih masih punya hati nurani untuk bisa membedakan yang baik dan buruk masih ada, maka harapan untuk mendapatkan pemimpin yang baik masih ada. Namuan sebaliknya, bila keyakinan politik uang harus dilakukan sudah menjadi “keimanan” dan tertancap dalam hati, maka api harapan itu akan mati.

*) Akhmad Zaini, mantan jurnalis Jawa Pos, kini jadi khadam pendidikan di IAINU Tuban.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *