Upah Sering Kali Diartikan Kebaikan Hati

Oleh : Heri Setiawan

Salah seorang teman saya yang bekerja di salah satu perusahaan, tiba-tiba nguda rasa  (berkeluh kesah) kepada saya terkait Upah Minimum Kabupaten (UMK) Tuban 2020, yang dirasakannya masih kurang bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Sebab, UMK Tuban sekitar  Rp. 2,5 juta per bulan, belum mencukupi untuk biaya kebutuhan hidup sehari-hari.

Bacaan Lainnya

Terlebih, perusahaan tempat dia bekerja, masih memberikan upah di bawah standar nilai UMK.Ironisnya lagi, gaji itu pun kadang terlambat diberikan. Inilah yang membuat dia bak tersayat sembilu, sembari telapak tangan kanannya mengelus dada.Betapa tidak, dia harus menanggung beban hidup yang luar biasa beratnya, yakni istri dan kedua anaknya yang sudah duduk di bangku sekolah dasar harus terpenuhi kebutuhan mereka.

Entah berapa kali kawan akrab saya tadi mengeluh terkait masalah tersebut. Padahal, dia termasuk pekerja yang rajin, ulet dan selalu memberikan kontribusi berupa ide-ide cemerlang kepada perusahaannya, sehingga perusahaan tersebut tetap survive.Alangkah naifnya  bila teman saya tadi menerima gaji di bawah standar, dan irosnisnya sering kali terlambat cair.

Sekelumit cerita saya tadi, langsung mengingatkan saya pada junjungan umat Muslim,  Nabi Muhammad SAW, tentang norma sistem pengupahan : “Berikan upah buruh sebelum keringat mereka kering”. Namun, mungkin itu baru “setetes” norma induknya. Sebab, ada kelanjutan penafsiran dari  “petuah” tersebut, yakni berikan upah yang membuat mereka bisa tersenyum puas. Syukur-syukur bisa memberikan upah kepada buruh disertai senyuman.

Sungguh terasa bahwa sabda rasul tersebut mengandung ajakan pemilik perusahaan agar tidak menunda membayar upah, apalagi sampai tidak memberikannya. Tingkat upah yang diberikan hendaknya sesuai dengan kebutuhan, sehingga penerima puas dan yang memberikan pun juga amat puas. Itulah sebenarnya hubungan kerja yang bersifat rahmah. Tentu semua itu akan menghasilkan pendapatan yang barokah.

Norma tersebut,sebenarnya juga memberikan bimbingan untuk ketentuan besarnya UMK, bukan semata besarnya prosentase kenaikkan, tetapi lebih menonjolkan kesepadanan tingkat kebutuhan buruh atau pekerja. Artinya berpijak pada nilai aktualnya dan bukan sekadar nilai optimalnya.

Memang problem UMK tidak bisa dilihat dari angka-angka semata. Akan tetapi, yang lebih esensial atau substansial adalah unsur adilnya. Menunda upah buruh sampai menunggu keringat kering, tentu sebuah ketidakadilan. Apalagi disertai dengan niatan menunjukkan kekuasaan pemberi upah atas penerima upah. Ini namanya sebuah bentuk arogansi.

Dalam posisi ini, penerima upah tak memiliki posisi nilai tawar yang kuat. Sebab, upah kadang sering kali diposisikan sebagai kebaikan hati dan bukan hak bagi si penerima upah. Hal ini semakin meruncing bila dikaitkan dengan aspek “keadilan” dalam hubungan kerja antarmanusia.Ironis bila atasan (bukan pemiik sebenarnya) yang semestinya memegang amanat untuk menyampaikan upah kepada yang berhak, memposisikan diri “berkuasa” meminta  sub-ordinasi kesetiaan di bawahnya. Cara pandang demikian memang sulit untuk dipahami. Sebab, bukti empiriknya lebih menunjukkan keterpinggiran kelompok penerima upah dalam hubungan kerja.

Standar keadilan hendaknya menjadi kompetensi pemerintah dalam menentukanya. Ini juga harus melibatkan lembaga independen yang bisa memposisikan buruh sebagai manusia dan bukan robot. Sebab, untuk menghindari masalah, biasanya pihak penguasa menggunakan alibi atau dalih tak mampu membayar upah. Di lain pihak, pekerja juga  tidak boleh merasa upah yang diterimanya terlalu rendah, tidak mencukupi dan tak adil.

Barangkali, rasa keadilan tidak selamanya identik dengan angka. Akan tetapi lebih terkait soal hati nurani. Sebab, kalau mau beradil-adil soal angka, seharusnya kalau ada UMK, pastilah harus ada pendapatan maksimal kabupaten agar skala keadilan lebih terasa seimbang.Lho kok gitu  ? Ya, selama ini tak ada yang ribut kalau ada pengusaha untungnya untuk pribadi mencapai ratusan miliar rupiah setahun. Sementara penentuan UMK hanya memperhitungkan kenaikan nilai nominal, tak pernah memperhitungkan nilai faktual. Inilah yang mengakibatkan sebuah rasa keadilan kadang terpuruk di bawah angka-angka. (*)

*) Penulis adalah penggiat media

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *