Langkanya Perajin Perahu di Desa Nelayan

Meski sebagian kecil wilayah Kabupaten Tuban merupakan daerah pesisir pantai, masyarakat setempat jarang yang memanfaatkan kesempatan untuk membuka usaha di bidang pembuatan perahu. Mereka lebih memilih menjadi nelayan, membuat jaring atau usaha di bidang perikanan. Ini disebabkan tak banyak di antara mereka yang ahli membuat perahu, terlebih biaya untuk membuat perahu juga tidak sedikit. 

Oleh : Heri Setiawan

Bacaan Lainnya

Suasana pagi hari yang sejuk dan hening di sudut desa tiba-tba pecah oleh suara gergaji yang memekikkan telinga. Suara tersebut juga dibarengi oleh suara martil (palu) yang ‘beradu’ dengan papan kayu. Suara-suara tersebut bersumber dari aktvitas para pekerja pembuat perahu di Kecamatan Palang, Tuban.   

Memang banyak desa di kecamatan tersebut yang sebagian besar warganya bekerja sebagai nelayan. Namun, hanya satu desa yang merupakan sentra pembuatan perahu tradisional, yakni di Desa Kradenan. Itupun jumlah pengrajin atau pembuatnya hanya bisa dihitung dengan jari.

Salah satunya adalah Syamsudin. Ia bersama tiga temannya masih aktif menjadi pengrajin atau membuat perahu sejak 8 tahun lalu. “Awalnya hanya coba-coba dan waktu kecil sering melihat pembuatan perahu di wilayah Kecamatan Tambakboyo, tapi akhirnya justru ketagihan membuat perahu, karena ada yang membeli,’’ kata Syamsudin.  

Menurut Syamsudin, para pembuat perahu di Tuban sangat sedikit. Bahkan, bisa dihitung dengan jari. Ini karena cara pembuatannya tidak mudah dan memakan waktu yang relatif lama, serta modal yang cukup banyak. “Itulah yang menjadi alasan mengapa masyarakat Tuban, khususnya kampung nelayan enggan membuat perahu. Mereka lebih suka memperbaiki perahunya yang rusak,’’ lontar pria asli Desa Pabean, Kecamatan Tambakboyo,Tuban ini.

Kini, lanjut Syamsudin, karena banyak warga yang tidak bisa membuat perahu, dirinya kadang kuwalahan memenuhi permintaan para nelayan. Sebab, pesanan kian banyak, terutama saat banyak perahu nelayan yang rusak diterjang ombak.”Saya kadang masih mencari orang untuk membantu proses pembuatan perahu, sebab order terus mengalir,’’ jelentreh pria lugu ini.    

Menurut Syamsudin, dia dan teman-temannya membutuhkan waktu sekitar 3 minggu untuk membuat perahu berukuran sekitar 6,2 meter kali 1,7 meter. Perahu tersebut ia jual dengan harga Rp 11 juta per unit. “Namun, kalau ada permintaan yang lebih besar, kami juga siap melayaninya,’’ ujarnya sedikit berpromosi.

Samsudin memanfaatkan tanah di depan rumah sebagai ‘galangan kapal’. Kayu yang digunakan adalah dari pohon Mundung. Selain kuat dan tidak mudah pecah juga tahan lama terhadap air. Namun, bahan baku tersebut kini mulai langka.Tak pelak, kalau harga kayu juga turut terdongkrak. 

“Hanya untuk kayu saja, satu perahu butuh sekitar empat kubik yang harganya bisa mencapai Rp. 4,5 juta,’’ tuturnya, sembari menambahkan, pekerjaan paling sulit, ketika membuat bagian perahu yang melengkung, serta merapatkan setiap lapisan kayu agar tidak mudah bocor.

Setiap sebulan sekali, sambung Syamsudin, ia bisa menerima tiga pesanan dari para nelayan. Namun, kadang ia sampai menolak karena tak punya waktu dan tenaga untuk mengerjakannnya, Apalagi diberikan batas waktu.’’Ya, gimana lagi, wong memang tak punya waktu. Kadang saya suruh cari pembuat perahu di lain tempat saja,’’ paparnya.

Para pemesan perahu tersebut biasanya dari wilayah Kecamatan Palang, Tuban, Jenu, Tambakboyo, hingga Bancar. Bahkan, tak jarang ada pemesan dari luar kota.” Kadang ada juga yang datang dari Lamongan atau bahkan sejumlah daerah di Jawa Tengah,’’ bebernya.

Alasan Syamsudin, kadang menolak pesanan, selain terbentur tenaga dan waktu, juga modal. Sebab, modal minimal membuat perahu bisa mencapai Rp. 5 juta per unit.’’Ya kalau gak ada modal, akan stagnan seperti ini,’’ keluhnya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *